Akhir-akhir ini di kalangan masyarakat muncul pendapat bahwa pemikiran hisab Muhammadiyah bersifat statis dan kurang responsif terhadap isu-isu kontemporer, bahkan global. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa pemikiran hisab Muhammadiyah merupakan antitesis terhadap pemikiran rukyat yang berkembang saat itu. Bahkan juga dinyatakan bahwa pemikiran hisab Muhammadiyah tidak sesuai dengan sunnah rasulullah saw. dan dianggap bid’ah (lihat As-Sunnah, 07/VIII/1425 H/2004 M, p. 18-23).
Pernyataan-pernyataan itu merupakan sikap kritis yang perlu direspons secara positif dan asertif. Oleh karena itu pendekatan historis sangat relevan untuk digunakan dalam mengkaji persoalan tersebut.
Ilmu Hisab dalam Lintasan Sejarah
Dalam khazanah intelektual Islam klasik ilmu hisab sering disebut dengan ilmu falak, miqat, rasd, dan hai’ah. Tak jarang pula disamakan dengan astronomi atau “falak ilmi”.
Namun dalam perjalanannya ilmu hisab hanya mengkaji persoalan-persoalan ibadah, seperti arah kiblat, waktu salat, awal bulan, dan gerhana. Dr. Yahya Syami dalam bukunya yang berjudul Ilmu Falak Safhat min at-Turats al-Ilmiy al-Arabiy wa al-Islamiy (1997) memetakan sejarah perkembangan ilmu hisab menjadi dua fase, yaitu fase pra-Islam (Mesir Kuno, Mesopotamia, Cina, India, Perancis, dan Yunani) dan fase Islam.
Fase Islam ditandai dengan proses penerjemahan karya-karya monumental dari bangsa Yunani ke dalam bahasa Arab. Karya-karya bangsa Yunani yang sangat mempengaruhi perkembangan hisab di dunia Islam adalah The Sphere in Movement (Al-Kurrah al-Mutaharrikah) karya Antolycus, Ascentions of The Signs (Matali’ al-Buruj) karya Aratus, Introduction to Astronomy (Al-Madhkhal ila Ilmi al-Falak) karya Hipparchus, dan Almagesty karya Ptolomeus.
Pada saat itu, kitab-kitab tersebut tak hanya diterjemahkan tetapi ditindaklanjuti melalui penelitian-penelitian dan akhirnya menghasilkan teori-teori baru. Dari sini muncul tokoh hisab di kalangan umat Islam yang sangat berpengaruh, yaitu Al-Khwarizmi dengan magnum opusnya Kitab al-Mukhtashar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah. Buku ini sangat mempengaruhi pemikiran cendekiawan–cendekiawan Eropa dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robert Chester pada tahun 535 H/ 1140 M dengan judul Liber algebras et almucabala, dan pada tahun 1247 H/ 1831 M diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Frederic Rosen.
Selain al-Khwarizmi, tokoh-tokoh yang ikut membangun dan mengembangkan ilmu hisab, diantaranya Abu Ma’syar al-Falakiy (w. 272 H/ 885 M) menulis kitab yang berjudul Haiatul Falak, Abu Raihan al-Biruni (363-440 H/973-1048 M) dengan kitabnya Qanun al-Mas’udi, Nasiruddin at-Tusi (598-673 H/1201-1274 M) dengan karya monumentalnya at-Tadzkirah fi ‘Ilmi al-Haiah, dan Muhammad Turghay Ulughbek (797-853 H/1394-1449 M) yang menyusun Zij Sulthani.
Karya-karya monumental tersebut sebagian besar masih berupa manuskrip dan kini tersimpan di Ma’had al-Makhtutat al-’Arabiy Kairo-Mesir.
Di Indonesia ilmu Hisab juga berkembang pesat. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia dinyatakan bahwa ulama yang pertama terkenal sebagai bapak hisab Indonesia adalah Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari. Namun, menurut penelusuran penulis sebenarnya selain Syekh Taher Jalaluddin pada masa itu juga ada tokoh-tokoh hisab yang sangat berpengaruh, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Ahmad Rifa’i, dan K.H. Sholeh Darat.
Selanjutnya perkembangan ilmu hisab di Indonesia dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dan Jamil Djambek. Kemudian diteruskan oleh anaknya Siraj Dahlan dan Saadoe’ddin Djambek (1330-1398 H/ 1911-1977 M). Diantara murid Saado’eddin yang menjadi tokoh hisab adalah H. Abdur Rachim. Beliau adalah Ketua Bagian Hisab dan Pengembangan Tafsir Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Karya-karyanya yang berkaitan dengan bidang hisab diantaranya : Mengapa Bilangan Ramadan 1389 H ditetapkan 30 hari ?, Menghitung Permulaan Tahun Hijrah, Ufuq Mar’i sebagai Lingkaran Pemisah antara Terbit dan Terbenamnya Benda-benda Langit, Ilmu Falak, dan Kalender Internasional.
*Genealogi Pemikiran Hisab Muhammadiyah*
Dalam sejarah pemikiran telah nyata bahwa tidak ada suatu pemikiran yang lahir dalam posisi “telanjang” tanpa pengaruh ruang, waktu, maupun pemikiran seseorang. Pemikiran hisab Muhammadiyah juga mengalami proses seperti ini. Pemikiran ini lahir karena ada pihak-pihak tertentu yang mempengaruhinya. M.T. Arifin dalam bukunya “Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah” menyebutkan bahwa penggunaan hisab untuk menentukan awal Ramadan dan Syawal yang digagas K.H. Ahmad Dahlan merupakan respons terhadap sistem Aboge yang biasa berlaku saat itu (M.T. Arifin, 1987, p. 90).
Ahmad Dahlan tidak puas dengan pernyataan dan pujian al-Qur’an yang jelas menyebutkan “kuntum khaira ummatin” tetapi dalam realitas empirisnya masyarakat Islam Yogyakarta terkungkung oleh “rutinitas” dalam menetapkan awal Ramadan dan Syawal. Pada saat itu, menurut keyakinan dan tradisi kesultanan untuk menentukan hari Raya menggunakan sistem Aboge.
Perhitungan hari yang didasarkan atas sistem Aboge bersifat spekulatif karena hanya didasarkan atas kepercayaan, padahal untuk menentukan hari Raya perhitungannya didasarkan atas perjalanan bulan, karena itu menurut pandangan Ahmad Dahlan sistem Aboge dianggap tidak relevan dan kurang akurat.
Mengingat perbedaan antara sistem Aboge dengan sistem hisab akan membawa akibat tentang keabsahan ibadah; Ahmad Dahlan berusaha memberi penjelasan kepada Sultan Hamengkubuwono VII bahwa sistem Aboge untuk menentukan jatuhnya hari Raya tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut kaidah keilmuan dan ajaran al-Qur’an, karena menurut perhitungan ilmu hisab hari Raya akan jatuh tepat pada tanggal 1 Syawal dengan ditandai munculnya hilal di ufuk sebelah Barat. Dengan demikian tidak tergantung pada ketentuan hari, bila pada saat akhir Ramadan hilal telah “kelihatan” maka keesokan harinya kaum muslimin diwajibkan berlebaran.
Berdasarkan pemahaman keilmuan tersebut; Ahmad Dahlan berusaha menyampaikan gagasannya kepada Sultan Hamengkubuwono VII. Menurut tata cara yang berlaku, maka ia mengajukan pendapatnya kepada Pimpinan Dewan Agama Islam Hukum Kraton yang dipegang Kanjeng Penghulu Khalil Kamaludiningrat, dan setelah Sultan berkenan maka Ahmad Dahlan menghadap Sultan dan diantar oleh Kanjeng Penghulu yang mempunyai kewajiban untuk hal tersebut karena jabatannya (ex officio). Seusai mendengar penjelasan Ahmad Dahlan, Sri Sultan, sosok yang dihormati masyarakat, takzim mengucapkan, berlebaranlah kamu menurut hisab atau rukyat, sedangkan grebegan tetap bertradisi menurut sistem Aboge.
Melihat kenyataan tersebut, Ahmad Dahlan “berijtihad” dan melakukan terobosan dengan menawarkan model hisab dalam menetapkan awal Ramadan dan Syawal. Gagasan Ahmad Dahlan ini kemudian dijadikan dasar bagi Muhammadiyah dalam menetapkan awal Ramadan dan Syawal. Dengan kata lain Ahmad Dahlan merupakan peletak dasar pemikiran hisab Muhammadiyah.
Fakta sejarah ini membuktikan bahwa kehadiran hisab di dalam Muhammadiyah bukan semata-mata antitesa terhadap rukyat. Namun, lebih didorong semangat keilmuan dari pada “mitos”. Dalam dokumen resmi Muhammadiyah dinyatakan bahwa untuk menentukan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah tidak semata-mata dengan hisab, tapi juga digunakan rukyat, istikmal, dan persaksian (Perhatikan Putusan Tarjih di Medan tahun 1939).
Patut diketahui berdasarkan hasil pembacaan penulis menunjukkan bahwa model hisab yang digunakan Muhammadiyah tidak tunggal sebagaimana yang dipahami selama ini. Mula pertama hisab yang digunakan Muhammadiyah adalah hisab hakiki dengan kriteria imkanur rukyat. Selanjutnya Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki dengan kriteria ijtima’ qabla al-ghurub. Artinya bila ijtimak terjadi sebelum ghurub (sunset) maka malam itu dan keesokan harinya dianggap tanggal 1 bulan baru hijriah. Namun bila ijtimak terjadi setelah ghurub maka malam itu dan keesokan harinya belum dianggap bulan baru hijriah. Dengan kata lain konsep ijtima’ qabla al-ghurub tidak mempertimbangkan posisi hilal di atas ufuk pada saat matahari terbenam. Teori ini digunakan Muhammadiyah sampai tahun 1937 M/ 1356 H.
Pada tahun 1938 M/1357 H Muhammadiyah mulai menggunakan teori Wujudul Hilal. Langkah ini ditempuh sebagai “jalan tengah” antara sistem hisab ijtimak (qabla al-ghurub) dan sistem imkanur rukyat atau jalan tengah antara hisab murni dan rukyat murni. Karenanya bagi sistem wujudul hilal metodologi yang dibangun dalam memulai tanggal satu bulan baru pada Kalender Hijriah tidak semata-mata proses terjadinya ijtimak tetapi juga memertimbangkan posisi hilal saat terbenam Matahari. Dengan kata lain teori wujudul hilal berusaha memadukan tuntutan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Setelah bertahun-tahun teori wujudul hilal digunakan, Muhammadiyah melakukan kajian ulang agar teori yang digunakan sesuai dengan syar’i- sains dan tuntutan zaman melalui seminar dan Munas, seperti Seminar Falak Hisab Muhammadiyah tahun 1970 M/ 1390 H di Yogyakarta, Munas Tajih ke 25 pada tahun 2000 M/1421 H di Jakarta, Workshop Nasional Metodologi Penetapan Awal Bulan Qamariyah Model Muhammadiyah 2002 M/1423 H di Yogyakarta, dan Munas Tarjih ke 26 pada tahun 2003 M/1424 H di Padang.
Pertemuan-pertemuan tersebut, hasilnya tetap memutuskan bahwa teori wujudul hilal masih relevan digunakan Muhammadiyah. Meskipun demikian, perlu disadari; teori wujudul hilal merupakan bangunan keilmuan yang juga memiliki kekurangan, khususnya bila terjadi wilayah Indonesia membelah menjadi dua bagian (sebagian sudah wujud dan sebagian belum wujud), seperti kasus awal Syawal 1427 H yang lalu.
Menyadari akan hal tersebut melalui diskusi yang panjang pada Munas Tarjih ke-27 di Universitas Muhammadiyah Malang diputuskan bahwa konsep wujudul hilal perlu dikembangkan dan dirumuskan ulang dengan mempertimbangkan kemaslahatan objektif. Dengan demikian, perbedaan internal Muhammadiyah dapat diatasi dan dapat ditumbuhkan kebersamaan.
Wa Allahu a’lam bi as-Sawab
*) Susiknan Azhari
Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Sumber asli di
http://museumastronomi.com/sejarah-dan-dinamika-pemikiran-hisab-muhammadiyah/