Sabda Nabi SAW: “Berpuasalah (dan berhari raya) karena melihat hilal. Jika tidak terlihat maka genapkanlah.”
KOMPAS.com- Pada setiap kali momentum penentuan awal bulan Ramadhan, pasti Anda sering sekali mendengar bahwa Kementerian Agama, BMKG, ilmuwan dan masyarakat akan beramai-ramai melihat ketampakan hilal.
Hal ini pun menimbulkan pertanyaan mendasar, apa itu hilal yang selalu ramai diperbincangkan menjelang bulan puasa?
Hilal adalah bulan sabit tertipis yang berkedudukan rendah di atas cakrawala langit barat, dan sudah diamati tepat selepas terbenam Matahari.
Dalam agama Islam, hilal atau bulan sabit tertipis dijadikan sebagai penentu perbedaan waktu dan menentukan kapan waktu yang tepat untuk beribadah kepada Allah SWT.
Pada prinsipnya dalam menentukan 1 Ramadhan, pemerintah melalui sidang isbat yang dipimpin oleh Kementerian Agama (Kemenag) akan mempertimbangkan pendekatan hisab dan rukyatul hilal.
Untuk diketahui, pendekatan hisab adalah cara memperkirakan posisi bulan dan matahari terhadap bumi dengan proses perhitungan astronomis.
Sedangkan, pendekatan rukyat adalah aktivitas pengamatan visibilitas hilal atau bulan sabit saat Matahari terbenam menjelang awal bulan di Kalender Hijriah.
Periode Ramadhan 1443 Hijriah di tahun 2022 Masehi ini, ditetapkan pemerintah jatuh pada tanggal 3 April 2022, dikarenakan ketinggian atau ketampakan hilal yang terlalu rendah dan tidak mungkin terlihat.
Disampaikan oleh Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dalam sidang isbat penentuan awal Ramadhan 2022, Jumat (1/4/2022) bahwa ketinggian penampakan hilal di seluruh Indonesia pada posisi 1 derajat 6,78 menit sampai dengan 2 derajat 10.02 menit berdasarkan hisab.
Hal ini dianggap belum memenuhi kriteria jika mengacu pada MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Dalam pedoman MABIMS, untuk menetapkan 1 Ramadhan 1443 Hijriah, tinggi bulan minimal adalah 3 derajat dengan elongasi minimal 6,4 derajat.
“Artinya, di Indonesia ini (penampakan) hilal terlalu rendah dan tidak mungkin bisa mengalahkan cahaya syafaq, sehingga tidak mungkin untuk terlihatnya hilal,” ujar anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriah Kemenag, Thomas Djamaluddin.
Tinggi hilal adalah besar sudut yang dinyatakan dari posisi proyeksi Bulan di Horizon-teramati hingga ke posisi pusat piringan Bulan berada.
Tinggi hilal positif berarti hilal berada di atas horizon pada saat Matahari terbenam. Sedangkan, tinggi hilal negatif berarti hilal berada di bawah horizon pada saat Matahari terbenam.
Thomas menambahkan, tinggi bulan atau hilal di wilayah Jakarta kemarin hanya 1 derajat 42 menit, yang artinya tidak sesuai dengan kriteria penentuan awal Ramadhan, yang mana menjadi penentu awal puasa.
Metode melihat hilal
Astronom amatir Indonesia sekaligus Pembimbing dan Pendamping Forum Kajian Ilmu Falak (FKIK) Gombong dan Majelis Kajian Ilmu Falak (MKIF) Kebumen Jawa Tengah, Marufin Sudibyo mengatakan, setidaknya ada tiga metode yang digunakan dalam melihat hilal ini.
Metode melihat hilal yang pertama adalah dengan menggunakan mata telanjang.
“Metode pertama adalah menggunakan mata telanjang, tanpa alat bantu optik sama sekali, Sehingga, menghasilkan fenomena kasatmata-telanjang,” jelas Marufin dalam pemberitaan Kompas.com edisi 22 April 2020.
Metode kedua dilakukan dengan menggunakan alat bantu optik terutama teleskop, namun tetap mengandalkan penglihatan mata.
"Ini menghasilkan fenomena kasatmata-teleskop,” tambahnya.
Metode terakhir adalah dengan menggunakan alat optik terutama teleskop yang terangkai dengan sensor atau kamera.
Baca juga: Hilal Tidak Terlihat, Kapan Puasa Ramadhan 2022? Ini Kata Kemenag
“Sensor atau kamera ini memproduksi denyut elektronik yang bisa diolah sebagai citra atau gambar. Ini menghasilkan fenomena kasat-kamera,” tambahnya.
Dari ketiga metode tersebut, yang paling populer adalah penggunaan metode mata telanjang dan mata yang dibantu oleh alat optik khususnya teleskop.
Mengapa perlu melihat hilal?
Marufin menyebutkan bahwa melihat hilal dinyatakan secara tekstual dalam sabda Nabi SAW: “Berpuasalah (dan berhari raya) karena melihat hilal. Jika tidak terlihat maka genapkanlah.”
Dengan landasan itu, maka rukyatul hilal (observasi hilal) dipahami sebagai ibadah. Selain menentukan awal bulan kalender Hijriyah, hilal juga menentukan awal dua hari raya.
“Meski di sini ada sedikit perbedaan. Lembaga seperti Nahdatul Ulama berpedoman seluruh awal bulan kalender Hijriyyah harus ditentukan oleh terlihat atau tidaknya hilal, maka rukyatul hilal (observasi hilal) digelar setiap awal bulan,” papar Marufin.
Sementara itu, lembaga yang lain berpedoman rukyatul hilal cukup dilakukan hanya pada awal Ramadhan dan dua hari raya.
Baca juga: Penentuan Hilal Ramadhan 1443 H, BMKG Ungkap Potensi Hasil Rukyat Awal Puasa
Sementara di bulan-bulan kalender Hijriah lainnya tidak ditetapkan dengan rukyatul hilal, tetapi ditetapkan berdasarkan hisab (perhitungan numerik-astronomik) yang bersandar pada sebuah kriteria yang memuat parameter-parameter minimal posisi Bulan.
“Sementara lembaga seperti Muhammadiyah berpedoman, seluruh awal bulan kalender Hijriyyah ditetapkan dengan cara hisab berdasarkan kriteria tertentu saja,” tambahnya.
Kondisi yang mempengaruhi rukyatul hilal
Kepala Pusat Seismologi Teknik, Geofisika Potensial dan Tanda Waktu BMKG, Rahmat Triyono, ST, Dipl.Seis, M.Sc mengatakan, yang perlu diperhatikan dalam perencanaan rukyat hilal adalah perlu diperkirakan juga objek-objek astronomis.
Objek-objek astronomis yang dimaksud adalah yang selain hilal dan Matahari yang posisinya berdekatan dengan Bulan dan kecerlangannya tidak berbeda jauh dengan hilal atau lebih cerlang daripada hilal.
Baca juga: 8 Data yang Jadi Pertimbangan Penentuan Hilal Awal Ramadhan 1443 Hijriyah
Objek astronomis ini dapat berupa planet, misalnya Venus atau Merkurius, atau berupa bintang yang cerlang, seperti Sirius.
Adanya objek astronomis lainnya ini berpotensi menjadikan pengamat menganggapnya sebagai hilal.
Pada tanggal 1 April 2022, dari sejak Matahari terbenam hingga Bulan terbenam tidak ada objek astronomis lainnya yang jarak sudutnya lebih kecil daripada 10 derajat dari Bulan.
Data hilal yang diambil umumnya meliputi data posisi lokasi Matahari dan Bulan, waktu terbenam dan azimuth keduanya dari setiap wilayah di Indonesia.
Selain itu, ada juga data konjungsi bulan dan posisi bulan relatif terhadap matahari (elongasi), serta kecerlangan bulan (FI Bulan