Jumat, 03 Oktober 2014

Puasa Arafah vs Wukuf Arofah

Oleh Misbahul Huda
Puasa Arafah vs Wukuf Arafah
04 Oktober 2014 03:00 WIB
http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/7730/Puasa-Arafah-vs-Wukuf-Arafah
 
PUASA Arafah atau Puasa Mina? Opini Agus Mustofa di Jawa Pos edisi 3 Oktober 2014 itu tentu saja mengandung keanehan peribadatan sekaligus mengundang ruang untuk berbeda pendapat. Salah satunya, apakah relevan mengaitkan puasa Arafah dengan wukuf di Arafah?
Ibadah haji yang puncaknya adalah wukuf di Arafah berbeda dengan puasa Arafah dan hari Nahr (Idul Adha). Masing-masing merupakan ibadah yang terpisah (mustaqillah), bukan satu rangkaian yang bisa dikaitkan, kecuali di Arab Saudi dan saat kondisi aman.
Ibadah haji menjadi puncak peribadatan dalam rukun Islam. Sebagai puncak peribadatan, ibadah haji mengharuskan tingkat kepatuhan yang total. Tidak mengherankan jika disebut-sebut ibadah haji adalah ibadah yang level regulasinya amat sangat ketat. No bargain. Kaifiyah (tata cara ibadah), waktu, dan tempat, semua diatur oleh tatanan syariat. Tata caranya harus sesuai dengan manasik haji ala nabi. Waktunya harus di bulan Zulhijah dan tempatnya harus di seputar Makkah, Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Tidak bisa selain itu. Sehingga kalau waktu pelaksanaan haji (Zulhijah) tanah haram sedang tidak aman, kewajiban haji menjadi gugur.
Tidak demikian halnya dengan Idul Adha dan puasa Arafah. Dua hal itu adalah ibadah (mahdhah) yang terikat hanya dengan tata cara dan waktunya. Tidak terikat dengan tempat. Karena itu, baik di Saudi aman atau sedang ada perang, baik ada yang wukuf atau tidak, tetap disunahkan salat Idul Adha dan berpuasa Arafah, meskipun saat itu tidak ada jamaah yang wukuf di Arafah. Dengan begitu, Idul Adha dan puasa Arafah di negara yang bukan Saudi atau negara yang awal bulannya tidak sama dengan Arab Saudi tidak harus bergantung pada adanya pelaksanaan haji dan wukuf di Arafah. Karena itu, mencoba mengaitkan puasa Arafah dan wukuf di Arafah tidaklah relevan serta terkesan dipaksakan.
Dari kajian sirah, puasa 9 Zulhijah itu telah disyariatkan jauh sebelum Rasulullah melaksanakan ibadah haji. Puasa 9 Zulhijah disyariatkan sejak awal beliau hijrah ke Madinah. Sedangkan ibadah haji baru beliau kerjakan pada tahun kesepuluh Hijriah. Pada tahun kedua, ketiga, keempat, dan kelima, Rasulullah dan para sahabat telah melaksanakan puasa 9 Zulhijah tanpa seorang pun menunaikan wukuf di Arafah. Saat disyariatkan puasa Arafah, belum ada perintah wukuf di Arafah.
Dari HR Abu Dawud, sebagian istri Nabi SAW berkata, ”Dahulu Rasulullah SAW berpuasa pada 9 Zulhijah, hari Asyura, serta tiga hari setiap bulan, yaitu Senin pada awal bulan dan dua hari Kamis.”
Dari hadis tersebut, dapat diketahui Rasulullah berpuasa pada 9 Zulhijah (untuk puasa Arafah) dan itu dilakukan sebelum beliau melakukan haji wada' pada 10 H. Dan lafaz itu menunjukkan rutinitas sebuah amalan. Jadi, nabi berpuasa Arafah di Madinah selama bertahun-tahun tanpa mengacu pada ada atau tidaknya wukuf di Arafah. Jika di Madinah sudah masuk 9 Zulhijah, menurut hitungan mereka, beliau bersama para sahabat berpuasa Arafah dan tidak memakai rukyat hilal penduduk Makkah.
Selain itu, pada hadis lain Rasulullah SAW bersabda, ”Apabila kamu telah melihat hilal (yaitu awal bulan) Zulhijah dan salah seorang di antara kamu hendak berkurban, jangan sekali-kali kamu memotong rambut dan jangan pula memotong kuku sampai hewan kurban itu disembelih (HR Muslim).”
Pada hadis itu, ditegaskan Idul Adha dikaitkan dengan terbitnya hilal. Sedangkan waktu terbitnya hilal di setiap negeri berbeda dengan negeri lain. Dengan demikian, Idul Adha dikaitkan dengan waktu (awal hilal), bukan aktivitas jamaah haji di Arafah. Karena itu, puasa Arafah juga dikaitkan dengan waktu (awal hilal), bukan waktu jamaah haji di Arafah.
Dari semua penjelasan itu, bisa disimpulkan bahwa berpuasa Arafah (pada 9 Zulhijah) dan berhari raya Idul Adha mengacu pada terlihatnya hilal (awal bulan) di negara masing-masing. Itulah yang dilakukan umat muslim selama berabad-abad sampai sekarang (sebelum berkembangnya teknologi informasi).
Arafah, menurut Ibnu Abidin, adalah nama hari dan nama tempat (Hasyiah Raddil Mukhtar II/92). Juga, menurut Imam Ar Raghib, Al Baghawi, dan Al Kirmani, Arafah adalah nama hari kesembilan di bulan Zulhijah. Selain itu, penamaan Arafah dengan pengertian 9 Zulhijah dan pengertian tempat di tanah haram sudah digunakan jauh sebelum disyariatkan haji, bukan karena adanya orang wukuf dalam ibadah haji.   
Jadi, ketika kita berpuasa di Indonesia pada 9 Zulhijah (sesuai dengan ketetapan pemerintah), namanya tetap puasa Arafah, bukan puasa Mina, apalagi hanya dengan alasan bahwa orang yang berhaji sedang beribadah di Mina.
Dari sisi pendewasaan umat Islam dalam menghadapi perbedaan, hal itu tidak akan menjadi masalah besar karena sudah terbiasa berbeda. Namun, tetap saja diperlukan kajian kritis dari perspektif sirah dan hadis agar pilihan cerdas yang dilakukan umat Islam Indonesia dalam berpuasa Arafah berpijak pada ilmu. Dengan begitu, ijtihad pilihannya menjadi berpahala, terlepas dari benar atau salahnya. Wallahualam.
*Motivator dan penulis buku spiritual (misbahulhuda63@gmail.com)
http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/7730/Puasa-Arafah-vs-Wukuf-Arafah